Rabu, 25 April 2012

Belajar Hidup di SMA St. Yosef


Oleh: Robertus Wahyudi Triweko
 

Aku tercatat sebagai siswa SMA St. Yosef pada tahun 1970 dan menyelesaikan sekolah pada tahun 1972, sehingga menyebut diri sebagai lulusan Yosef ’72. Aku tertarik untuk bersekolah di SMA St. Yosef, karena penampilan Pak Sri Rahadi, guru Bahasa Inggris di SMP Bharata Karanganyar, seorang lulusan SMA St. Yosef yang masih muda, cerdas, aktif, dan secara pribadi cukup dekat denganku. Meskipun selama di Karanganyar belum sekalipun aku melihat seperti apa dan dimana letak SMA St. Yosef tersebut, tetapi hatiku sangat mantap  bahwa setelah menyelesaikan sekolah di SMP Bharata, aku ingin melanjutkan sekolah ke SMA St. Yosef, sebuah SMA di Kota Solo yang waktu itu semua siswanya laki-laki. Oleh karena itu, setelah mendapatkan tanda lulus dari SMP Bharata, suatu hari pada akhir Desember 1969 ayah mengajakku mendaftarkan diri ke SMA St. Yosef, yang ternyata terletak di Manahan.

Kami menemui Bruder Bonifacio, FIC, Direktur SMA St. Yosef waktu itu, yang dengan manggut-manggut memperhatikan  nilai-nilai hasil ujian SMP-ku, sambil jarinya mengepit cerutu yang terus mengepul. Dalam beberapa menit, Bruder Bonifacio telah mengambil keputusan bahwa kalau sudah membayar uang pangkal sebesar Rp.200 (dua ratus rupiah) aku bisa diterima di sekolah tersebut, dan mulai masuk sekolah pada tanggal 5 Januari. Tanpa berpikir panjang ayahku mengeluarkan dompet dan membayar uang pangkal tersebut. Agaknya ayah sudah menyiapkan sejumlah uang untuk keperluan pendaftaran sekolah tersebut, dan agaknya jumlah Rp.200 saat itu dinilai wajar, serta sesuai dengan kemampuan ayah yang saat itu menjabat sebagai Kepala Inspeksi Pendidikan Dasar di Kabupaten Karanganyar. Betapa sederhana dan mudahnya mendaftar di sekolah waktu itu, tanpa harus mengikuti test ini-itu, atau harap-harap cemas menunggu pengumuman penerimaan siswa baru. Biaya studipun ditetapkan dengan mudah, tanpa harus tawar menawar seperti yang biasa dilakukan orang tua dan sekolah dalam penerimaan siswa baru di kebanyakan sekolah Katolik saat ini.

Bruder Bonifacio setiap hari ke sekolah dengan diantar becak. Beliau sudah lanjut usia dan sangat berwibawa. Setiap pagi beliau berkeliling dari kelas yang satu ke kelas yang lain untuk memeriksa dan mencatat kehadiran siswa. Kalau bau cerutu sudah sampai ke hidung, itu tandanya Bruder Boni sebentar lagi akan masuk ke kelas, sehingga kelas yang hingar bingar mendadak menjadi lengang. Yang mengagumkan adalah daya ingat beliau. Kalau ada siswa yang kemarin tidak masuk sekolah dan hari ini tidak membawa surat dari orang tua/wali, maka Bruder Boni cukup menunjuk dengan jari, dan dengan isyarat tersebut siswa itupun tidak bisa membantah selain mengikuti beliau ke halaman sekolah untuk berdiri di dekat tiang bendera, sampai ada perintah kembali ke kelas. Siswa yang terlambatpun juga tidak pernah bisa lolos. Meskipun hanya terlambat satu menit, tetapi kalau pintu samping tempat siswa masuk dengan sepedanya sudah ditutup, itu berarti ia harus masuk lewat pintu depan, dan disana Bruder Boni sudah siap menanti dan mempersilahkan siswa tersebut untuk langsung berdiri di halaman.

Bruder Hilarius adalah guru yang mengajar Mekanika dan Agama Katolik, ketika aku duduk di Kelas IE. Perawakannya jangkung, murah senyum, tetapi kalau marah kami sekelas takut setengah mati. Yang paling mengesankan bagiku adalah cara beliau mengajar Mekanika. Bruder Hilarius selalu menjelaskan persoalan Mekanika dengan sangat jelas, sehingga aku betul-betul paham dan selalu mendapat nilai 9 di raport. Dan karena angka 9 itu pula, di kemudian hari aku mempunyai kepercayaan diri yang besar untuk melanjutkan studi di Jurusan Teknik Sipil.

Cara beliau mengajar Agama Katolik pun juga sangat menarik, tidak membosankan, karena kami sering kali disuruh berdiskusi dalam kelompok kecil. Dengan menggeser kursi, kami membentuk kelompok diskusi yang terdiri dari 4 orang, dan kemudian berdiskusi tentang berbagai topik, antara lain tentang suara hati, kemurnian, rambut gondrong, dan sebagainya. Dari beliaulah aku merasa pertama kali dilatih berdiskusi. Dengan metoda ini pula kami belajar berpikir sendiri dan menentukan sikap berdasarkan pemikiran sendiri, bukan karena nasehat orang lain. Melalui diskusi itulah kami dididik menjadi orang-orang kritis, yang sering kali merepotkan guru ataupun orang tua. Itulah contoh penerapan metoda pembelajaran “Cara Belajar Siswa Aktif” yang ternyata sudah diterapkan di SMA St. Yosef empat puluh tahun yang lalu.

Hal lain yang berkesan dari Bruder Hilarius adalah cara beliau memperkenalkan pakaian seragam sekolah di SMA St.Yosef pada waktu itu. Perlu diketahui bahwa ketika aku masuk di SMA St. Yosef pada tahun 1970, para siswa berpakaian bebas, tidak mengenakan seragam sekolah. Untuk mengkondisikan perlunya seragam sekolah, beliau mulai dengan diskusi kelompok tentang untung-rugi apabila ada atau tidak ada seragam sekolah. Setelah seluruh kelas setuju bahwa seragam sekolah diperlukan, maka diskusi meningkat pada warna dan model seragam tersebut. Tidak mengherankan bahwa diskusipun kemudian berlanjut di luar kelas, bahkan  juga di sore hari ketika kami belajar bersama di salah satu rumah. Akhirnya, ketika aku naik ke Kelas II, SMA St.Yosef mulai menerapkan seragam sekolah berupa celana panjang warna coklat drill dan baju lengan pendek warna putih. Dalam pelaksanaannya, meskipun  sekolah sudah memberikan gambar contoh model celana dan baju tersebut, banyak di antara teman-teman yang membuat model celana “cut-brai,” yaitu celana yang bagian bawahnya melebar, yang sedang “ngetrend” saat itu, meniru penyanyi pop terkenal kelas dunia, John Lenon.

Pada suatu peringatan sekolah, mungkin Ulang Tahun SMA St. Yosef yang ke 20, setiap kelas mengadakan pesta kelas dengan dihadiri wali kelas. Waktu itu aku di kelas IIIB-4 bersama Agus, Juni, Basuki, Wismadi, dan Prasodjo. Kami berpikir untuk membuat atraksi yang unik, beda dengan kelas-kelas yang lain. Kesepakatan dicapai dengan membuat konser band dengan alat-alat musik dari barang-barang bekas, yang kami namakan Band The Tremp, alias “trempolong.” Maka pada hari H, masing-masing membawa “alat musik” sendiri berupa kaleng bekas, gelas, piring dari rumah. Seingatku, Kelas IIIB-4 lah yang paling heboh, karena suara music gedombrangan yang tidak jelas nadanya, namun sederhana, murah, meriah, unik, dan berkesan.

Masih ada satu pengalaman menarik di SMA St. Yosef yang perlu dicatat, yaitu ketika kami ditugaskan untuk mewakili sekolah mengikuti lomba gerak jalan tingkat SMA se-Kotamadya Surakarta. Jumlah anggota delegasi tersebut 30 orang, dengan komandan peleton Agus Nugroho, sang juara sekolah, sedangkan Juni Artanto, Wismadi, Basuki, termasuk aku sendiri menjadi anggota pasukan. Kami tidak membuat seragam khusus, karena kami menghindari pengeluaran uang secara berlebihan, yang waktu itu kami nilai “borjuis.” Kami melaksanakan tugas ini dengan semangat tinggi, namun dalam kesederhanaan. Oleh karena itu, kami cukup mengenakan seragam sekolah yang biasa dipakai sehari-hari. Sekedar untuk penampilan yang sedikit beda, kami mengenakan peci/kopiah pinjaman dari ayah masing-masing, dan lambang Garuda Pancasila yang ditempel di peci tersebut, sebagai satu-satunya perlengkapan yang perlu dibeli. Peci dan Garuda tersebut merupakan ungkapan rasa kebangsaan kami. Mungkin karena peci dan Garuda itu, atau karena kami selalu langkah tegap sejak  start sampai finish, akhirnya kami keluar sebagai Juara ke II. Lumayan, tidak terlalu memalukan.

Pada catur wulan kedua, ketika aku masih di kelas I SMA, Pak Sarwani yang mengajar Ekonomi Koperasi menawarkan kursus Tata Buku di sore hari sebagai persiapan mengikuti ujian negara Tata Buku A-1. Aku tertarik untuk ikut kursus Tata Buku tersebut dengan pertimbangan bahwa setelah lulus SMA nanti, dengan bermodalkan ijasah SMA dan ijasah Tata Buku, aku bisa mencari pekerjaan dan dapat melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi tanpa harus membebani orang tua. Maka, tiga kali seminggu setelah makan siang, aku kembali ke Yosef untuk ikut kursus Tata Buku tersebut bersama teman-teman, antara lain Agus Nugroho, Juni Artanto, dan beberapa teman Kelas II Sosial, yang di kelas juga mendapatkan pelajaran Tata Buku. Pada akhir kursus, kami mengikuti ujian negara yang diadakan di sebuah SMEA di sebelah utara Gereja Purbayan. Ternyata, ketika hasil ujian negara diumumkan, kami bertiga termasuk peserta yang lulus dan mendapatkan ijasah Tata Buku A-1 tersebut.

Teman kursus Tata Buku, Agus dan Juni, lalu juga Martoyo, Liestaryono, Anton, Asnarto, dan Jarot, akhirnya menjadi sahabat dekatku. Kebersamaan kami bukan hanya menyangkut pelajaran dan kegiatan di sekolah, tetapi juga kegiatan di Gereja Purwosari. Kami pernah membantu panitia pertemuan pastoral dengan menyiapkan dekorasi panggung semalam suntuk, juga menjadi seksi sibuk sewaktu ulang tahun Rama Beyloos, MSF. Tetapi aktivitas yang rutin dari kelompok ini adalah setiap malam minggu berkumpul di gereja untuk membuat majalah dinding, sambil meneruskan kegemaran kami wedangan. Biasanya Agus menulis Ediorial, Jarot menggambar karikatur, Martoyo dan Juni mengatur tata letak, sedangkan aku lebih senang menulis renungan. Pagi harinya, majalah dinding tersebut kami angkat beramai-ramai ke depan gereja agar dibaca umat. Majalah dinding tersebut kami beri nama ARENA REMAJA, dengan harapan menjadi forum bagi para remaja untuk berkreasi. Dari aktivitas di gereja inilah aku mendapatkan informasi tentang beasiswa Kader Dosen UNPAR, yang akhirnya membawaku ke Bandung dan menjadi dosen tetap di Universitas Katolik Parahyangan sampai sekarang.

Demikianlah beberapa pengalaman  yang masih kuingat ketika aku menjadi siswa SMA St. Yosef antara tahun 1970 sampai 1972, sebagai bagian dari perjalanan hidupku, yang membawaku berkembang dari seorang remaja menjadi seorang dewasa yang mandiri. Pelajaran berharga yang kudapat dari sekolah ini bukan Mekanika, Aljabar, Biologi, atau Bahasa Inggris, melainkan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang dalam menemukan panggilan Tuhan.  Terima kasih kepada para guru yang telah mendampingiku dalam proses pendewasaan tersebut. Selamat Pesta Intan SMA St. Yosef, sekolah kebanggaanku. Semoga anak-anak muda yang berguru kepadamu mendapat peneguhan atas panggilan hidup mereka, seperti yang pernah kualami dulu.

Bandung, 15 Oktober 2011


Robertus Wahyudi Triweko adalah alumni SMA St. Yosef tahun 1972,  yang saat ini menjabat sebagai Guru Besar Teknik Sumber Daya Air dan Rektor, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar