Oleh: Robertus
Wahyudi Triweko
Aku tercatat sebagai
siswa SMA St. Yosef pada tahun 1970 dan menyelesaikan sekolah pada tahun 1972,
sehingga menyebut diri sebagai lulusan Yosef ’72. Aku tertarik untuk bersekolah
di SMA St. Yosef, karena penampilan Pak Sri Rahadi, guru Bahasa Inggris di SMP
Bharata Karanganyar, seorang lulusan SMA St. Yosef yang masih muda, cerdas,
aktif, dan secara pribadi cukup dekat denganku. Meskipun selama di Karanganyar
belum sekalipun aku melihat seperti apa dan dimana letak SMA St. Yosef
tersebut, tetapi hatiku sangat mantap
bahwa setelah menyelesaikan sekolah di SMP Bharata, aku ingin
melanjutkan sekolah ke SMA St. Yosef, sebuah SMA di Kota Solo yang waktu itu
semua siswanya laki-laki. Oleh karena itu, setelah mendapatkan tanda lulus dari
SMP Bharata, suatu hari pada akhir Desember 1969 ayah mengajakku mendaftarkan
diri ke SMA St. Yosef, yang ternyata terletak di Manahan.
Kami menemui Bruder
Bonifacio, FIC, Direktur SMA St. Yosef waktu itu, yang dengan manggut-manggut
memperhatikan nilai-nilai hasil ujian
SMP-ku, sambil jarinya mengepit cerutu yang terus mengepul. Dalam beberapa
menit, Bruder Bonifacio telah mengambil keputusan bahwa kalau sudah membayar
uang pangkal sebesar Rp.200 (dua ratus rupiah) aku bisa diterima di sekolah
tersebut, dan mulai masuk sekolah pada tanggal 5 Januari. Tanpa berpikir
panjang ayahku mengeluarkan dompet dan membayar uang pangkal tersebut. Agaknya
ayah sudah menyiapkan sejumlah uang untuk keperluan pendaftaran sekolah
tersebut, dan agaknya jumlah Rp.200 saat itu dinilai wajar, serta sesuai dengan
kemampuan ayah yang saat itu menjabat sebagai Kepala Inspeksi Pendidikan Dasar
di Kabupaten Karanganyar. Betapa sederhana dan mudahnya mendaftar di sekolah
waktu itu, tanpa harus mengikuti test ini-itu, atau harap-harap cemas menunggu
pengumuman penerimaan siswa baru. Biaya studipun ditetapkan dengan mudah, tanpa
harus tawar menawar seperti yang biasa dilakukan orang tua dan sekolah dalam
penerimaan siswa baru di kebanyakan sekolah Katolik saat ini.
Bruder Bonifacio
setiap hari ke sekolah dengan diantar becak. Beliau sudah lanjut usia dan
sangat berwibawa. Setiap pagi beliau berkeliling dari kelas yang satu ke kelas
yang lain untuk memeriksa dan mencatat kehadiran siswa. Kalau bau cerutu sudah
sampai ke hidung, itu tandanya Bruder Boni sebentar lagi akan masuk ke kelas,
sehingga kelas yang hingar bingar mendadak menjadi lengang. Yang mengagumkan
adalah daya ingat beliau. Kalau ada siswa yang kemarin tidak masuk sekolah dan
hari ini tidak membawa surat dari orang tua/wali, maka Bruder Boni cukup menunjuk
dengan jari, dan dengan isyarat tersebut siswa itupun tidak bisa membantah
selain mengikuti beliau ke halaman sekolah untuk berdiri di dekat tiang
bendera, sampai ada perintah kembali ke kelas. Siswa yang terlambatpun juga
tidak pernah bisa lolos. Meskipun hanya terlambat satu menit, tetapi kalau
pintu samping tempat siswa masuk dengan sepedanya sudah ditutup, itu berarti ia
harus masuk lewat pintu depan, dan disana Bruder Boni sudah siap menanti dan
mempersilahkan siswa tersebut untuk langsung berdiri di halaman.
Bruder Hilarius adalah
guru yang mengajar Mekanika dan Agama Katolik, ketika aku duduk di Kelas IE.
Perawakannya jangkung, murah senyum, tetapi kalau marah kami sekelas takut
setengah mati. Yang paling mengesankan bagiku adalah cara beliau mengajar
Mekanika. Bruder Hilarius selalu menjelaskan persoalan Mekanika dengan sangat
jelas, sehingga aku betul-betul paham dan selalu mendapat nilai 9 di raport.
Dan karena angka 9 itu pula, di kemudian hari aku mempunyai kepercayaan diri
yang besar untuk melanjutkan studi di Jurusan Teknik Sipil.
Cara beliau mengajar
Agama Katolik pun juga sangat menarik, tidak membosankan, karena kami sering
kali disuruh berdiskusi dalam kelompok kecil. Dengan menggeser kursi, kami
membentuk kelompok diskusi yang terdiri dari 4 orang, dan kemudian berdiskusi
tentang berbagai topik, antara lain tentang suara hati, kemurnian, rambut
gondrong, dan sebagainya. Dari beliaulah aku merasa pertama kali dilatih
berdiskusi. Dengan metoda ini pula kami belajar berpikir sendiri dan menentukan
sikap berdasarkan pemikiran sendiri, bukan karena nasehat orang lain. Melalui
diskusi itulah kami dididik menjadi orang-orang kritis, yang sering kali
merepotkan guru ataupun orang tua. Itulah contoh penerapan metoda pembelajaran
“Cara Belajar Siswa Aktif” yang ternyata sudah diterapkan di SMA St. Yosef
empat puluh tahun yang lalu.
Hal lain yang berkesan
dari Bruder Hilarius adalah cara beliau memperkenalkan pakaian seragam sekolah
di SMA St.Yosef pada waktu itu. Perlu diketahui bahwa ketika aku masuk di SMA
St. Yosef pada tahun 1970, para siswa berpakaian bebas, tidak mengenakan
seragam sekolah. Untuk mengkondisikan perlunya seragam sekolah, beliau mulai
dengan diskusi kelompok tentang untung-rugi apabila ada atau tidak ada seragam
sekolah. Setelah seluruh kelas setuju bahwa seragam sekolah diperlukan, maka
diskusi meningkat pada warna dan model seragam tersebut. Tidak mengherankan
bahwa diskusipun kemudian berlanjut di luar kelas, bahkan juga di sore hari ketika kami belajar bersama
di salah satu rumah. Akhirnya, ketika aku naik ke Kelas II, SMA St.Yosef mulai
menerapkan seragam sekolah berupa celana panjang warna coklat drill dan baju
lengan pendek warna putih. Dalam pelaksanaannya, meskipun sekolah sudah memberikan gambar contoh model
celana dan baju tersebut, banyak di antara teman-teman yang membuat model
celana “cut-brai,” yaitu celana yang bagian bawahnya melebar, yang sedang
“ngetrend” saat itu, meniru penyanyi pop terkenal kelas dunia, John Lenon.
Pada suatu peringatan
sekolah, mungkin Ulang Tahun SMA St. Yosef yang ke 20, setiap kelas mengadakan
pesta kelas dengan dihadiri wali kelas. Waktu itu aku di kelas IIIB-4 bersama
Agus, Juni, Basuki, Wismadi, dan Prasodjo. Kami berpikir untuk membuat atraksi
yang unik, beda dengan kelas-kelas yang lain. Kesepakatan dicapai dengan
membuat konser band dengan alat-alat musik dari barang-barang bekas, yang kami
namakan Band The Tremp, alias “trempolong.”
Maka pada hari H, masing-masing membawa “alat musik” sendiri berupa kaleng
bekas, gelas, piring dari rumah. Seingatku, Kelas IIIB-4 lah yang paling heboh,
karena suara music gedombrangan yang
tidak jelas nadanya, namun sederhana, murah, meriah, unik, dan berkesan.
Masih ada satu
pengalaman menarik di SMA St. Yosef yang perlu dicatat, yaitu ketika kami
ditugaskan untuk mewakili sekolah mengikuti lomba gerak jalan tingkat SMA
se-Kotamadya Surakarta. Jumlah anggota delegasi tersebut 30 orang, dengan
komandan peleton Agus Nugroho, sang juara sekolah, sedangkan Juni Artanto,
Wismadi, Basuki, termasuk aku sendiri menjadi anggota pasukan. Kami tidak
membuat seragam khusus, karena kami menghindari pengeluaran uang secara
berlebihan, yang waktu itu kami nilai “borjuis.” Kami melaksanakan tugas ini
dengan semangat tinggi, namun dalam kesederhanaan. Oleh karena itu, kami cukup
mengenakan seragam sekolah yang biasa dipakai sehari-hari. Sekedar untuk
penampilan yang sedikit beda, kami mengenakan peci/kopiah pinjaman dari ayah
masing-masing, dan lambang Garuda Pancasila yang ditempel di peci tersebut,
sebagai satu-satunya perlengkapan yang perlu dibeli. Peci dan Garuda tersebut
merupakan ungkapan rasa kebangsaan kami. Mungkin karena peci dan Garuda itu,
atau karena kami selalu langkah tegap sejak
start sampai finish, akhirnya kami keluar sebagai
Juara ke II. Lumayan, tidak terlalu memalukan.
Pada catur wulan
kedua, ketika aku masih di kelas I SMA, Pak Sarwani yang mengajar Ekonomi
Koperasi menawarkan kursus Tata Buku di sore hari sebagai persiapan mengikuti
ujian negara Tata Buku A-1. Aku tertarik untuk ikut kursus Tata Buku tersebut
dengan pertimbangan bahwa setelah lulus SMA nanti, dengan bermodalkan ijasah
SMA dan ijasah Tata Buku, aku bisa mencari pekerjaan dan dapat melanjutkan
sekolah ke perguruan tinggi tanpa harus membebani orang tua. Maka, tiga kali seminggu
setelah makan siang, aku kembali ke Yosef untuk ikut kursus Tata Buku tersebut
bersama teman-teman, antara lain Agus Nugroho, Juni Artanto, dan beberapa teman
Kelas II Sosial, yang di kelas juga mendapatkan pelajaran Tata Buku. Pada akhir
kursus, kami mengikuti ujian negara yang diadakan di sebuah SMEA di sebelah
utara Gereja Purbayan. Ternyata, ketika hasil ujian negara diumumkan, kami
bertiga termasuk peserta yang lulus dan mendapatkan ijasah Tata Buku A-1
tersebut.
Teman kursus Tata
Buku, Agus dan Juni, lalu juga Martoyo, Liestaryono, Anton, Asnarto, dan Jarot,
akhirnya menjadi sahabat dekatku. Kebersamaan kami bukan hanya menyangkut
pelajaran dan kegiatan di sekolah, tetapi juga kegiatan di Gereja Purwosari.
Kami pernah membantu panitia pertemuan pastoral dengan menyiapkan dekorasi
panggung semalam suntuk, juga menjadi seksi sibuk sewaktu ulang tahun Rama
Beyloos, MSF. Tetapi aktivitas yang rutin dari kelompok ini adalah setiap malam
minggu berkumpul di gereja untuk membuat majalah dinding, sambil meneruskan
kegemaran kami wedangan. Biasanya
Agus menulis Ediorial, Jarot menggambar karikatur, Martoyo dan Juni mengatur
tata letak, sedangkan aku lebih senang menulis renungan. Pagi harinya, majalah
dinding tersebut kami angkat beramai-ramai ke depan gereja agar dibaca umat.
Majalah dinding tersebut kami beri nama ARENA REMAJA, dengan harapan menjadi
forum bagi para remaja untuk berkreasi. Dari aktivitas di gereja inilah aku
mendapatkan informasi tentang beasiswa Kader Dosen UNPAR, yang akhirnya membawaku
ke Bandung dan menjadi dosen tetap di Universitas Katolik Parahyangan sampai
sekarang.
Demikianlah beberapa
pengalaman yang masih kuingat ketika aku
menjadi siswa SMA St. Yosef antara tahun 1970 sampai 1972, sebagai bagian dari
perjalanan hidupku, yang membawaku berkembang dari seorang remaja menjadi
seorang dewasa yang mandiri. Pelajaran berharga yang kudapat dari sekolah ini
bukan Mekanika, Aljabar, Biologi, atau Bahasa Inggris, melainkan kesempatan
untuk tumbuh dan berkembang dalam menemukan panggilan Tuhan. Terima kasih kepada para guru yang telah
mendampingiku dalam proses pendewasaan tersebut. Selamat Pesta Intan SMA St. Yosef, sekolah kebanggaanku. Semoga
anak-anak muda yang berguru kepadamu mendapat peneguhan atas panggilan hidup
mereka, seperti yang pernah kualami dulu.
Bandung, 15 Oktober
2011
Robertus Wahyudi Triweko adalah alumni SMA St.
Yosef tahun 1972, yang saat ini menjabat
sebagai Guru Besar Teknik Sumber Daya Air dan Rektor, Universitas Katolik
Parahyangan, Bandung